Tentang Mahalnya Rendah Hati

Mama selalu mengajarkan aku untuk rendah hati. Aku pikir, “Apa sih? Aku tidak merasa aku sombong. Aku tidak merasa bahwa aku suka pamer kekayaan atau kecerdasan karena memang tidak ada yang bisa dipamerkan.” Namun ternyata, sombong bukan hanya sekedar itu.
Selama masa karantina di rumah kekasihku, tsailah kekasihku, aku baru sadar bahwa ternyata aku sesombong itu. Aku terkurung bersama 24 jam dalam seminggu selama satu setengah bulan sebelum akhirnya aku memutuskan untuk pulang kerumahku. Aku butuh me time. Walaupun sebenarnya agak rawan karena kalau sial bisa dikontrol polisi dan didenda. Namun aku sudah menyiapkan diri mengeluarkan kocekku daripada aku menjadi gila jika tetap di sana dan hubungan kami malah memburuk.
Jadi apa masalahnya? Hanya ada satu kelakuannya yang membuat aku penat. Dia main game dari bangun tidur sampai tidur lagi. Selebihnya? Tidak ada. Selebihnya adalah masalahku dengan egoku.
Aku didoktrin sejak kecil untuk menjadi perempuan yang mandiri. Pernah suatu ketika aku sedang bersama mamiku (sebenarnya dia budeku, tapi tradisi dalam keluarga kami adalah memanggil bude dengan sebutan “mama”) dan kami melihat sebuah mobil Audi. Aku menyeletuk, “Nanti aku kalau udah gede, aku pingin punya suami yang bisa beliin aku Audi.” Namun mami bukannya mengamini malah menanggapi, “Kenapa ga kamu aja yang beli Audi pake uangmu sendiri?” PLETAK.
Hal kedua yang membuatku memutuskan bahwa perempuan harus mandiri dan mempunyai karir adalah ketika papaku meninggal dan saat itu mama tidak bekerja dan harus menanggung tiga anak yang masih sekolah. Aku tidak bisa membayangkan diriku jika berada di posisi mama saat itu. Hancur, takut, kalut, dan segala perasaan yang bisa dirasakan seorang perempuan yang baru ditinggal kekasih hatinya sementara ia harus kuat demi anak-anaknya. Bukannya aku merendahkan ibu rumah tangga yang tidak bekerja, sebaliknya aku mengagumi perempuan-perempuan yang bisa dengan rendah hati dan ikhlas tinggal di rumah mengurusi anak dan suaminya, tanpa pikiran kalut tidak memiliki pendapatan sendiri dan harus bergantung pada penghasilan suaminya. Aku? Aku tidak serendah hati dan seikhlas itu. Saat aku berada di rumah pasanganku, pikiranku hanya satu, karir dan penghasilanku harus melebihi dia.
Sebaik dan semalaikat apapun pasanganku, aku merasa tertekan selama aku tinggal di sana. Pertama, itu bukan rumahku, bukan teritoriku, sehingga aku merasa powerless. Otak gilaku berpikir, “Dia pasti ngerasa bisa ngontrol gw karna gw numpang di tempat dia, karna gw tergantung sama dia.” Kemudian karena aku sudah “menumpang” di tempat dia, insting sombongku ingin berkontribusi belanja makanan untuk kami berdua, padahal gajiku tidak seberapa sementara gaji dia jauh diatasku. Apalagi dengan karantina ini, bisa dibilang gaji dia masih sisa banyak karena tidak banyak pengeluaran. Dalam beberapa video call bersama teman-temanku, aku mengeluhkan dia yang membiarkan aku belanja banyak padahal dia tahu gajiku berkurang. Namun ketika sudah mendekati akhir bulan dan dia tahu bahwa aku sudah misqueen, aku menolak bantuan dia. Tanpa basa-basi dia mau mentransfer uang belanja ke rekeningku seraya mengatakan aku bisa mengembalikan uangnya ketika perekonomianku sudah normal kembali. Aku gengsi. Sudah aku menumpang di rumahnya, pinjam uang pula. Dulu marah-marah karena dia tidak peka dengan kemiskinanku, namun ketika dia sudah berinisiatif kasih uang belanja, aku malah tersinggung. Such a drama queen, am I not? Namanya juga Teresa Rani, semua yang dilakukan orang lain salah di mata dia.
Sampai suatu hari aku memutuskan untuk pulang ke rumah karena aku sudah tidak tahan dengan ke-jealous-anku dan dia yang main game terus sehingga aku merasa diabaikan. Aku bilang, “Lebih baik aku merasa sendiri karena aku memang benar-benar sendiri daripada aku merasa sendiri saat aku sedang bersama orang lain.”
Ketika aku berada dirumahku sendiri, ini adalah saatnya aku menenangkan diri, walaupun aku merasa bodoh meninggalkan rumahnya dengan kenyamanan dapur dan bahan makanannya. Berhubung aku sudah lama tidak di rumah, aku tidak punya makanan apa-apa dan malas memasak karena teman kosku menguasai semua space di dapur. Namun aku merasa ini adalah keputusan yang tepat supaya aku bisa merefleksikan semuanya dan menyelamatkan hubunganku, karena jujur saja ketika aku di sana, setiap dua hari sekali aku berpikir mau mengakhiri hubunganku dengan dia ketika masa karantina ini selesai. Ketika aku ambil jarak sebentar dari dia, baru kusadari bahwa aku sayang padanya dan sangat beruntung punya pacar seperti dia. Segala yang aku inginkan dan aku butuhkan dari seorang kekasih ada dalam dirinya dan aku menyia-nyiakannya hanya karena dia punya dunianya sendiri.
Suatu hari aku chatting-an sama mamiku dan mengeluarkan semua unek-unek tentang hubunganku. Dia hanya tertawa. Iya aku tau aku newbie. Pacarku yang sekarang adalah pacar pertamaku. Aku kencan dengan beberapa laki-laki namun baru kali ini yang sampai tahap “agak serius”. Aku baru kenal dan jalan sama dia selama sebulan, tiba-tiba kami terkarantina bersama dan aku baru tahu kalau hidup bersama laki-laki ternyata seperti ini. Wow, a whole new world. Pantas banyak perempuan bilang mengurus suami seperti mengurus anak. 70% pekerjaan rumah tangga dikerjakan oleh perempuan dan hal ini semakin terasa saat masa karantina. Ini juga yang waktu itu bikin gedeg. Aku membersihkan rumah, memasak, menyuci piring, melipat baju, sementara dia ngegame dan tidak menawarkan bantuan. Dia memang tidak menyuruhku melakukan semua itu namun jiwa babuku bergejolak. Aku pun tidak mau meminta bantuan karena “I can do it all by myself”, tapi ya itu, kesal sendiri karena dia tidak inisiatif. Jadi untuk semua perempuan di jagat raya, kalau mau lelakimu membantumu, MINTALAH BANTUAN karena kalau tidak mereka tidak akan bergerak.
Oke kembali ke isi chat ku sama mamiku.
Aku cerita sama mami tentang semua gundah gulanaku, bahwa semua ini membuat aku berpikir tentang kehidupan pernikahan. Lalu mami pun mulai bercerita tentang kisah cintanya dulu dengan suaminya yang sekarang dan bagaimana sekarang pun cerita dia di rumah terkarantina dengan suaminya sama seperti cerita aku dengan pacarku. Memang ya, laki-laki kalau sudah ketemu gadget, HMM!
Sampai tibalah kami di topik “gengsi meminta atau menerima bantuan dari laki-laki.”
Mami bercerita kalau dulu saat dia masih muda, ada masa-masa dimana ia juga tidak punya uang tapi gengsi untuk minta bantuan, kecuali pacarnya ngasih tanpa diminta.
Kita, aku terutama, kadang tidak sadar bahwa kita menjadikan pasangan sebagai kompetitor kita. Padahal kita berpasangan untuk saling melengkapi, bukan mendahului.
Selama pasangan kita tulus dan jujur, itu sudah cukup. Lagipula, gengsi itu menolak kebaikan Tuhan.